Ribuan Itik Situbondo Mati Mendadak, Peternak Panik, pemerintah Bergerak Cepat

Jatim50 Views

Kabar mengejutkan datang dari Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Dalam beberapa hari terakhir, ribuan ekor itik mati mendadak tanpa tanda-tanda sakit sebelumnya. Peristiwa ini tidak hanya membuat geger warga setempat, tetapi juga menimbulkan kepanikan di kalangan peternak yang menggantungkan hidup dari bisnis unggas air tersebut. Fenomena kematian massal ini terjadi di beberapa titik sentra ternak itik di Situbondo, salah satunya di Kecamatan Besuki yang dikenal sebagai wilayah penghasil telur asin dan itik petelur terbesar di kawasan tapal kuda Jawa Timur.

Kematian massal itik situbondo ini langsung menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan dinas terkait. Tim dokter hewan bersama petugas dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Situbondo turun tangan melakukan penyelidikan lapangan. Namun, sampai berita ini ditulis, penyebab pasti dari kematian ribuan itik tersebut masih menjadi misteri.


Gelombang Kematian yang Terjadi dalam Waktu Singkat

Peristiwa ini mulai ramai dibicarakan warga sejak pekan lalu ketika ratusan itik milik peternak di Desa Kalimas, Kecamatan Besuki, mati mendadak dalam waktu kurang dari dua hari. Tidak lama berselang, kasus serupa juga terjadi di Desa Demung dan Desa Besuki. Hingga akhir pekan, jumlah kematian tercatat mencapai lebih dari 2.000 ekor.

Kematian mendadak ini menjadi hal yang tidak biasa bagi para peternak. Biasanya, penyakit unggas dapat dilihat dari tanda-tanda fisik seperti nafsu makan menurun, gerakan lambat, atau bulu kusam. Namun kali ini, itik-itik yang terlihat sehat dan aktif pada pagi hari mendadak ditemukan tak bernyawa di sore hari.

Seorang peternak bernama Suyatno, warga Desa Kalimas, menceritakan bagaimana kejadian itu bermula. Ia mengatakan,

“Awalnya saya pikir cuma satu dua ekor yang mati karena cuaca, tapi keesokan harinya sudah ratusan yang tumbang. Dalam lima hari, lebih dari separuh kandang saya kosong. Rasanya seperti mimpi buruk.”

Kematian itik secara mendadak ini membuat sebagian peternak memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas beternak, karena takut penyebabnya menular ke ternak lain atau bahkan mengancam kesehatan manusia.


Dugaan Awal Mengarah ke Wabah Penyakit

Petugas Disnakkeswan Situbondo segera melakukan langkah awal investigasi. Tim lapangan mengambil beberapa sampel bangkai itik yang baru mati untuk diperiksa di laboratorium. Dugaan awal mengarah pada penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI), mengingat gejala yang terlihat mirip dengan infeksi virus tersebut.

Beberapa itik yang mati ditemukan mengalami kejang sebelum mati, dengan mata berwarna kebiruan dan lendir di bagian paruh. Namun hasil uji cepat (rapid test) pertama menunjukkan hasil negatif terhadap flu burung. Meski demikian, pihak dinas tetap mengirimkan sampel tambahan ke Balai Besar Veteriner (BBVet) Surabaya untuk pemeriksaan lanjutan.

Kepala Disnakkeswan Situbondo, drh. Sri Wahyuni, menjelaskan kepada wartawan bahwa pemerintah tidak ingin berspekulasi sebelum hasil laboratorium keluar.

“Kami tidak bisa memastikan ini flu burung atau penyakit lain sebelum hasil uji laboratorium diterima. Namun kami tetap menerapkan protokol pengendalian penyakit unggas agar tidak menyebar lebih luas,” ujarnya.

Selain flu burung, ada dugaan lain yang mengarah pada penyakit Newcastle Disease (ND) atau dikenal juga dengan tetelo, serta Duck Cholera (Pasteurellosis) yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Kedua penyakit ini dapat menyebabkan kematian massal pada itik dalam waktu singkat.


Tindakan Cepat Pemerintah dan Tim Dokter Hewan

Menyadari ancaman serius terhadap sektor peternakan unggas, pemerintah daerah langsung menginstruksikan langkah-langkah darurat. Disinfektan disemprotkan di area kandang yang terdampak, sementara bangkai itik yang mati dikubur dalam lubang khusus agar tidak menjadi sumber penularan penyakit.

Pemerintah juga mengeluarkan imbauan agar seluruh peternak di wilayah Situbondo dan sekitarnya meningkatkan kebersihan kandang dan menghindari keluar-masuk unggas dari luar daerah untuk sementara waktu.

Selain itu, Dinas Peternakan bekerja sama dengan aparat desa dan babinsa untuk melakukan pendataan ternak yang masih hidup, termasuk pemeriksaan kondisi kesehatan unggas yang tersisa. Langkah ini diambil untuk mendeteksi lebih awal apabila terjadi penyebaran penyakit ke daerah lain.


Kerugian Ekonomi yang Tidak Sedikit

Kematian ribuan itik bukan hanya bencana biologis, tetapi juga pukulan ekonomi bagi para peternak. Harga itik di pasaran menurun drastis karena banyak pembeli menunda transaksi hingga situasi kembali normal.

Di Desa Demung saja, seorang peternak bisa kehilangan modal hingga puluhan juta rupiah karena ribuan ekor itik mati secara mendadak. Belum lagi kerugian dari biaya pakan dan vaksinasi yang sudah dikeluarkan sebelumnya.

Suyatno, yang sehari-hari menjual telur asin ke beberapa toko di Situbondo dan Bondowoso, kini harus menghentikan produksinya karena tidak ada itik yang bisa bertelur lagi.

“Saya kehilangan lebih dari 800 ekor itik dalam waktu seminggu. Itu sama saja kehilangan tabungan bertahun-tahun. Kalau ini terus terjadi, bisa habis semua peternak di sini.”

Kerugian ekonomi ini juga berdampak pada rantai pasok industri kecil seperti pedagang telur asin, pengepul, hingga pedagang kuliner yang menggunakan telur itik sebagai bahan utama.


Reaksi Warga dan Kekhawatiran Kesehatan

Tidak hanya peternak yang resah, warga sekitar juga mulai khawatir bahwa kematian massal ini bisa berdampak pada kesehatan manusia. Beberapa warga bahkan enggan membeli telur itik di pasar karena takut terpapar penyakit.

Dinas Kesehatan Situbondo segera menenangkan masyarakat dengan memastikan bahwa hingga saat ini belum ada laporan kasus penularan ke manusia. Namun warga tetap diimbau untuk berhati-hati, mencuci tangan setelah berinteraksi dengan unggas, dan memastikan telur atau daging dimasak hingga matang.

“Warga jangan panik, yang penting jaga kebersihan. Jangan mengonsumsi unggas yang mati mendadak,” ujar salah satu petugas kesehatan yang turut mengedukasi masyarakat di pasar tradisional Besuki.


Situasi di Lapangan yang Masih Terkendali

Meski menimbulkan kepanikan di awal, situasi di lapangan mulai dapat dikendalikan setelah pemerintah melakukan langkah-langkah mitigasi. Petugas melakukan pengawasan intensif di titik-titik penyebaran, sementara para peternak mulai kembali melakukan pembersihan rutin dan membatasi kunjungan ke kandang.

Sejumlah peternak yang sebelumnya berniat menjual habis itiknya kini memilih menunggu hasil laboratorium keluar. Beberapa peternak lain mulai memanfaatkan vaksin tambahan dan menyesuaikan pola pemberian pakan agar daya tahan tubuh unggas meningkat.

Petugas lapangan juga mendata peternak yang mengalami kerugian besar untuk diajukan sebagai calon penerima bantuan atau kompensasi dari pemerintah provinsi. Langkah ini diharapkan dapat membantu mereka bangkit kembali setelah kehilangan modal usaha.


Tantangan dalam Deteksi Penyakit Unggas

Kasus kematian massal ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem biosekuriti peternakan rakyat. Banyak peternak yang masih belum menerapkan standar kebersihan yang baik. Air minum sering diambil dari sumber terbuka, pakan disimpan tanpa wadah tertutup, dan bangkai itik terkadang dibiarkan terlalu lama sebelum dikubur.

Padahal, dalam sistem peternakan modern, pengawasan biosekuriti menjadi kunci utama pencegahan wabah. Sekali virus atau bakteri masuk ke lingkungan kandang, penyebarannya bisa sangat cepat.

“Penyakit unggas tidak mengenal musim. Sekali lalai dalam kebersihan, bisa habis satu kandang dalam sehari,” ungkap salah satu dokter hewan yang bertugas di lapangan.

Pemerintah daerah juga menyoroti kurangnya fasilitas laboratorium di tingkat kabupaten. Ketika kasus seperti ini muncul, sampel harus dikirim ke Surabaya atau Malang, sehingga butuh waktu lebih lama untuk mengetahui hasil diagnosa.


Potensi Penyebab Lain Selain Wabah

Selain kemungkinan penyakit, ada pula dugaan bahwa kematian massal ini disebabkan oleh faktor lingkungan. Cuaca ekstrem, perubahan suhu yang drastis antara siang dan malam, serta kualitas air yang menurun diduga turut berperan.

Beberapa peternak mengaku bahwa beberapa hari sebelum kejadian, air sungai yang digunakan untuk minum itik berbau tidak sedap akibat limbah pertanian. Dugaan sementara, kemungkinan terjadi kontaminasi zat kimia yang menyebabkan keracunan massal.

Petugas laboratorium pun mengambil sampel air dan pakan untuk diuji kandungan logam berat maupun zat berbahaya lainnya. Hasil uji tersebut masih menunggu analisis lebih lanjut dari laboratorium provinsi.


Harapan Para Peternak dan Pemerintah

Meski mengalami kerugian besar, para peternak di Situbondo masih memiliki semangat untuk bangkit. Mereka berharap ada dukungan nyata dari pemerintah, baik berupa bantuan bibit baru, vaksin, maupun pelatihan biosekuriti agar kejadian serupa tidak terulang.

Pemerintah Kabupaten Situbondo berencana untuk mengadakan pelatihan manajemen peternakan bagi kelompok ternak dan memperkuat sistem pelaporan digital agar kasus kematian unggas bisa segera terpantau.

Selain itu, rencana pembangunan laboratorium mini di tingkat kabupaten sedang digodok agar respon terhadap kasus-kasus seperti ini bisa lebih cepat di masa depan.

“Kami tidak ingin kejadian ini menjadi siklus tahunan. Peternak harus lebih siap, dan pemerintah wajib hadir di tengah mereka,” ungkap Kepala Disnakkeswan Situbondo.


Itik Situbondo sebagai identitas lokal

Bagi masyarakat Situbondo, itik bukan sekadar hewan ternak, tetapi bagian dari identitas lokal. Produksi telur asin, olahan kuliner seperti sate itik dan serundeng telur bebek, menjadi penopang ekonomi warga. Kematian massal ribuan itik seperti ini bagaikan tamparan keras terhadap kebanggaan daerah yang selama ini dikenal sebagai sentra unggas air.

Kini, para peternak hanya bisa berharap agar hasil laboratorium segera keluar dan solusi terbaik dapat ditemukan. Mereka juga berharap wabah ini tidak menyebar ke daerah lain seperti Bondowoso atau Probolinggo yang masih terhubung melalui jalur perdagangan unggas.

Dalam pandangan penulis, tragedi ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk memperkuat sistem keamanan pangan dan kesehatan hewan di tingkat daerah. Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya kolaborasi antara pemerintah, peternak, dan masyarakat.

“Kematian ribuan itik di Situbondo bukan hanya berita duka bagi peternak, tapi juga cermin bahwa sektor pangan kita masih butuh perlindungan serius agar tidak mudah tumbang oleh wabah atau kelalaian.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *